![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSrqeRw4IvD4Xy9cMBeP_yg8GCMaaI5iDYiL3PDLqE1INg9TCNPbOyW9Y3L1hrmUVQhXqkngXSDxBZ4n1fLbz7UL5rp6ZvzoPciZKAGnZerMxMEhwTmvwRAsXcHDSgfwI-0q_sWYV8WwD4/s1600/cincin-menikah-islam-muslim-muslimah-bahagia-merayakan-cinta-salim-a-fillah.jpg)
MARI SEGERA NIKAHKAN PUTRA-PUTRI KITA
Oleh Ustadz Aunur Rofiq Ghufron, Lc
(Majalah Al Mawaddah edisi ke 4 tahun ke 2 halaman 25 – 29, kami copy dari status seorang teman)
Anak adalah karunia dari Alloh subhanahu wa ta'ala. Orang tua yang
dikaruniai anak tentu akan merasa gembira, dan akan bersedih bila tidak
memiliki anak.
Selain sebagai karunia, anak juga termasuk amanat
dari Alloh subhanahu wa ta'ala agar dididik dan dipelihara. Sehingga
apabila akhlak anak baik, orang tua pun ikut senang dan mendapat pahala;
sebaliknya bila akhlaknya jelek, bukan hanya anak saja yang celaka,
orang tua pun juga ikut sengsara. Orang tua bertanggung jawab penuh
dalam mendidik anak-anaknya, terlebih lagi saat menjelang usia baligh
atau ketika sudah muncul rasa suka kepada lawan jenisnya. Karena itu,
orang tua harus banyak tahu tingkah laku dan gerak-gerik putra putrinya.
Secara asal, anak itu lahir dalam keadaan fithroh, bersih dari dosa,
lalu Alloh subhanahu wa ta'ala memberi amanat kepada orang tua untuk
memelihara fithrohnya tersebut. Dari Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu
Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fithroh. Lalu kedua orang tuanyalah ynag
menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi; sebagaimana binatang
ternak yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihatnya cacat hidung dan
telinganya?" (HR. Bukhori 5/182)
diantara fithroh seorang manusia
adalah butuh kepada pasangan hidup dari lawan jenisnya. Maka menikah,
sebagaimana yang disyari'atkan Islam, merupakan jawaban atas tuntutan
fithroh tersebut.
ANJURAN BERSEGERA MENIKAHKAN ANAK
Menikah termasuk bagian dari kebutuhan hidup manusia yang pokok setelah
menginjak usia baligh dan memiliki keinginan terhadap lawan jenis.
Sebagaimana hal ini juga dirasakan oleh para orang tua tatkala mereka
masih muda. Dimana dan kapan saja yang diingat selalu lawan jenisnya.
Lalu, bagaimana perasaan kita sebagai orang tua yang apabila pada masa
muda kita ingin menikah, namun dihalang-halangi oleh orang tua? Tentu
kita akan merasa menderita, yang bisa jadi dampaknya kan berpengaruh
terhadap aktivitas ibadah kita, lain halnya bila sudah menikah. Sebab,
sebagaimana telah disinggung dimuka, menikah adalah tuntutan fithroh
kita sebagai manusia.
Nah, karena tuntutan fithroh inilah kita
sebagai orang tua hendaknya segera menikahkan putra putri kita, karena
Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS
an-Nur [24]: 32)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "disunnahkan
agar segera menikah dengan wanita yang masih muda. Itulah tujuan menikah
ynag sebenarnya, karena dia yang paling nikmat dan lebih sedap bau
mulutnya, lebih menarik, paling indah pergaulannya, lucu bicaranya,
cantik wajahnya, lembut kulitnya, menarik suami untuk bersikap lembut
kepadanya" (Shohih Muslim, Syarh an-Nawawi 5/70)
Segera
menikahkan anak merupakan bentuk belas kasih orang tua kepada anaknya.
Dan orang tua yang mempunyai belas kasihan kepada anaknya, niscaya akan
dibelas kasihani oleh anaknya kelak. Selain itu, dengan segera
menikahkan anak, akan meringankan beban dan menenangkan jiwa anak,
membendung anak berbuat zina dan maksiat lainnya.
JANGAN BIARKAN ANAK BERPACARAN
Pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahromnya sebelum menikah. Biasanya hal ini banyak dilakukan oleh sesama
teman sekelas, atau sesama teman sekerja, atau lainnya ketika saling
jatuh cinta dan tidak melalui jalur syari'at Islam. Kebiasaan yang
mereka lakukan pada awalnya pandang-memandang, lalu sapa-menyapa,
berlanjut surat menyurat atau SMS, tukar menukar foto, lewat telepon dan
bertatap muka, menyepi, sentuh menyentuh, sampai pada puncaknya terjadi
zina farji – Naudzu billahi min dzalik. Itu semua hukumnya haram
berdasarkan al Qur'an dan hadist yang shohih.
Terkadang orang tua
menganggap perkara ini biasa-biasa saja, sebagai sebuah persahabatan,
atau bahkan senang bila anaknya melakukan itu dirumahnya, senang bila
melihat anaknya dijemput laki-laki berkendaraan mobil atau sepeda motor.
Padahal bila kita tilik ulang, sungguh hal itu amat besar dosa dan
akibatnya. Karena itulah orang tua harus waspada dari tingkah laku
anaknya, karena bila anak terjatuh dalam kemungkaran bisa jadi orang tua
pun akan ikut merasakan siksaannya.(Baca QS al-Anfal [8]: 25)
BILAKAH PUTRA PUTRI KITA SIAP MENIKAH
Orang tua harus mengetahui gelagat anak-anaknya. Apakah mereka sudah
siap menikah ataukah belum. Jika kita memiliki anak laki-laki yang sudah
nampak keinginannya untuk menikah, sering berhubungan dengan wanita;
maka kan lebih selamat jika kita segera menikahkannya agar dia tidak
terjatuh ke dalam perbuatan zina. Karena bila dinikahkan setelah dia
menghamili seorang wanita, maka hal itu akan lebih hina dan akan merusak
kehormatan orang tua.
Begitu pula bila dia sudah siap menikah,
sudah bisa bekerja walaupun belum selesai kuliah, maka alangkah baiknya
bila segera dinikahkan. Jika dia sudah mampu menikah dengan persyaratan
diatas (siap menikah dan sudah bekerja – red), maka yang lebih utama
adalah menikah daripada melanjutkan kuliah. Rosululloh Shollallahu
'Alaihi Wasallam bersabda " Wahai pemuda, apabila kalian telah mampu
menikah maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah
berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng baginya" (HR. Bukhori:
4677 dari Sahabat Abdulloh Radhiyalahu 'anhu)
Imam Nawawi
rahimahullah berkata: "bahwa yang dimaksud mampu menikah ialah mampu
berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah." (Fathul Bari
14/293)
Orang tua boleh melarang putranya sementara untuk tidak
menikah bila anaknya belum bekerja sehingga ia mendapat pekerjaan.
Karena memang sebagai seorang suami, laki-laki wajib mencarikan nafkah
untuk istri dan keluarganya. (lihat ath-Tholaq ayat 7 dan an Nisa' ayat
34)
Dan hendaklah anak yang belum mampu menikah dianjurkan untuk
menahan dan memelihara dirinya sehingga Alloh subhanahu wa ta'ala
memberinya kemampuan menikah. (lihat surat an-Nur ayat 33)
Lain
halnya jika anak kita itu seorang wanita. Apabila dia sudah dewasa dan
memiliki keinginan untuk menikah yang mana hal itu bisa dilihat dari
gerak-geriknya setiap hari dan pergaulannya dengan pria, atau ada
laki-laki yang sudah meminangnya sedangkan laki-laki itu orang yang baik
aqidah dan akhlaknya, dan putri kita ridho dengannya; maka hendaklah
segera dinikahkan. Sebab, anak wanita itu lebih utama untuk cepat
dinikahkan daripada melanjutkan belajar. Janganlah menghalangi putri
kita untuk segera menikah meski kuliahnya belum selesai. Karena hanya
dengan jalan inilah putri kita akan selamat dari perbuatan jahat.
Abu Hatim al-Muzani Radhiyalahu 'anhu berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Jika datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya maka
nikahkanlah (putrimu) dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah
dan kerusakan dipermukaan bumi ini. (HR Tirmidzi: 1005, dan dihasankan
oleh al-Albani dalam Mukhtashor Irwaul Gholil 1/370)
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah tatkala ditanya : "bagaimana hukum orang tua yang
menghalangi putrinya yang sudah kuat (keinginannya) untuk menikah tetapi
mereka masih menyuruh putrinya melanjutkan kuliah?"
Maka beliau
menjawab:" tidak diragukan lagi bahwa orang tuamu yang melarangmu
(menikah padahal kamu) sudah siap menikah hukumnya adalah haram. Sebab,
menikah itu lebih utama dari pada menuntut ilmu, dan juga karena menikah
itu tidak menghalangi untuk menuntut ilmu, bahkan bisa ditempuh
keduanya. Jika kondisimu demikian wahai Ukhti! Engkau bisa mengadu ke
pengadilan agama dan menyampaikan perkara tersebut, lalu tunggulah
keputusannya." (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin 2/754)
KESALAHAN ORANG TUA
Dari keterangan diatas diketahui bahwa merupakan sebuah kesalahan orang
tua (yaitu) melarang anak laki-lakinya menikah hanya karena belum
selesai kuliah, harus punya rumah dulu, harus menyelesaikan pendidikan
adiknya dulu, menunggu kakaknya menikah dulu, menanti bila adik
perempuannya sudah menikah, harus jadi pegawai negeri dulu, atau harus
mencari orang yang sama pendidikannya, sama jabatan atau kedudukannya,
sama suku dan adatnya.
Demikian juga merupakan kesalahan orang
tua adalah melarang anak perempuannya menikah karena belum bekerja,
belum selesai kuliah, kakaknya belum belum menikah, calonnya bukan orang
kaya, atau bukan dari keturunan yang terkenal. Ini semua bila
diharuskan maka akan menelantarkan anak dan menimbulkan masalah di dalam
keluarga, bahkan boleh jadi menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
TUJUAN MENIKAHKAN ANAK
Ketika orang tua ingin menikahkan putra putrinya, hendaknya mereka
melurusakan niat. Karena niat sangatlah penting untuk menata kelanjutan
berkeluarga. Hendaknya diniatkan untuk mencari menantu yang ahli ibadah
dan beraqidah benar karena Alloh subhanahu wa ta'ala semata agar
terjalin kehidupan yang mawaddah dan penuh rohmat. (lihat surat ar-Rum
ayat 21)
Hendaknya diniatkan untuk menjaga kehormatan diri dan anak
dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya sehingga mendapat
pertolongan dari Alloh subhanahu wa ta'ala.
Abu Hurorioh Radhiyalahu 'anhu berkata : Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Ada tiga golongan manusia yang Alloh berhak membantu mereka, (yaitu)
mujahid yang berperang karena membela agama Alloh, budak yang ingin
menebus dirinya dari tuannya, dan orng yang menikah karena ingin menjaga
kehormatan dirinya." (HR. Tirmidzi 6/214, dihasankan oleh al-Albani
dalam Shohih Targhib wa Tahrib 2/192)
Janganlah menikahkan anak
hanya dengan tujuan mencari menantu yang kaya dan punya kedudukan, dan
gengsi bila memiliki menantu yang miskin dan mempunyai kelas sosial yang
rendah.
BAGAIMANA MENIKAHKAN ANAK KITA?
Orang tua yang
telah merasakan hidup berkeluarga, hendaknya menjadikan pengalaman pahit
dan manisnya berkeluarga sebagai pelajaran bagi anaknya. Hendaknya
menasehati anak (terutama anak wanita) sebelum menikahkannya. Sebab,
secara umum Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk
banyak menasehati para wanita dengan sabdanya:
"Dan berilah wasiat yang baik kepada para wanita" (HR. Bukhori: 4787 dari Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu)
setelah menikah hendaknya tetap dinasihati, sebagaimana Rosululloh
Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat pun senantiasa memantau
putrinya yang sudah menikah.
Jika orang tua melihat anaknya
berpacaran, segeralah mengambil sikap. Bila mereka berdua sudah cocok
menurut pandangan dienul (agama) Islam dan yang laki-laki juga sudah
mampu menikah, maka segera nikahkan.
Akan tetapi, bila salah
satunya tidak layak menurut pandangan dienul Islam maka hendaknya orang
tua segera memutus hubungan keduanya dengan cara memanggil dan
menasehati mereka. Jika perlu, hubungi orang tua anak yang bersangkutan
agar urusannya cepat selesai, sambil memantau kesehariannya. Dan anak
hendaknya menerima keputusan orang tua yang ingin menyelamatkan anaknya.
Abdulloh bin Umar Radhiyalahu 'anhu berkata: saya memiliki istri dan
saya sayang kepadanya. Tetapi Umar (ayahku) membenci istriku seraya
berkata : "ceraikanlah istrimu!" Maka akupun enggan menceraikannya.
Kemudian Umar datang kepada Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan
melaporkan hal itu. Lalu Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam berkata:
"Ceraikanlah istrimu!" (HR. Abu Dawud 13/349 dengan sanad yang shohih)
Sebaliknya, jika orang tua menyuruh anaknya untuk memutus hubungan
dengan istrinya yang shalihah maka hal itu tidak wajib ditaati. Sebab,
itu berarti orang tua telah lalai dan hanya mengikuti hawa nafsunya.
Namun, penolakan tersebut diucapkan dengan kata-kata yang lembut.
Berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta'ala:
Dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas
(QS. Al-Kahfi[18]:28)
Jika anak wanita sudah tiba waktunya menikah,
tetapi dia belum punya pilihan, sedangkan orang tua sudah punya pilihan,
maka hendaknya orang tua memanggil anaknya dan mengajaknya
bermusyawarah, bukan memaksanya menerima pilihannya tersebut.
Jika anaknya janda, orang tua tidak boleh menikahkannya melainkan atas
perintahnya. Dan apabila anaknya gadis maka orang tua meminta izin
kepadanya; jika ia diam, berarti dia setuju dengan usulan orang tuanya.
Ini semua agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelah
pernikahan. Abu Huroiroh Radhiyalahu 'anhu berkata: Rosululloh
Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"seorang janda tidak boleh
dinikahkan kecuali dia sendiri yang menyuruh; dan seorang gadis tidak
boleh dinikahkan melainkan minta izin (terlebih dahulu) kepadanya."
Mereka bertanya: Wahai Rosululloh, bagaimana(tandanya bahwa) dia telah
mengizinkan? Beliau berkata: "apabila dia diam." (HR. Bukhori 16/100).
Sesungguhnya Khonsa' binti Khidzam Radhiyalahu 'anha berkata:
sesungguhnya ayahnya menikahkan dirinya sedangkan dia janda, lalu dia
tidak menyukai suaminya. Kemudian dia datang kepada Rosululloh
Shollallahu 'Alaihi Wasallam, lalu beliau membatalkan pernikahannya.
(HR. Bukhori 21/273)
Jika orang tua mempunyai dua pilihan yang
sama baiknya, maka hendaknya ditawarkan kepada putri atau putranya dari
keluarga yang baik dienul Islamnya. Yang demikian itu akan membantu
kelancaran hidup berkeluarga yang baik dari semua pihak insya-Alloh.
Lihatlah kisah Maryam, dia telah melahirkan anak yang sholih, Nabi Isa
Alaihissalam, karena bapak dan ibunya adalah orang-orang yang sholih
pula.
Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah
seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. (QS.
Maryam [19]: 28)
Jika terjadi perbedaan pendapat antara orang tua
dan anak dalam memilih, sedangkan masing-masing pilihan sama baiknya;
maka hendaknya orang tua mendahulukan pilihan anaknya, karena dialah
yang menjalankan hidup berkeluarga dan berhak untuk menentukan
pilihannya.
Orang tua hendaknya mengutamakan pilihan orang yang
paling baik agama untuk anaknya. Setelah itu boleh memilih kecantikan
atau ketampanannya, kekayaannya, kedudukannya atau keturunannya. Yang
penting sudah jelas agamanya baik.
"Wanita itu dinikahi karena empat
perkara : karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya atau karena
agamanya (agama Islam). Maka pilihlah wanita yang memiliki agama yang
kuat, niscaya kamu akan bahagia" (HR. Bukhori : 4700)
TETAP DIDIKLAH ANAK-ANAK KITA
Sebagian anak yang baru menikah tentu masih banyak membutuhkan didikan
orang tua, sebab orang tua tentu lebih banyak pengalamannya. Bahkan,
anak yang sudah beberapa tahun menikahpun masih banyak yang membutuhkan
didikan orang tuanya. Karena itu, selagi orang tua masih hidup maka
mereka tetap wajib mendidik anaknya meskipun anaknya sudah dewasa, atau
bahkan sudah berkeluarga sekalipun. Terutama anak wanita yang baru
mereka nikahkan, hendaknya banyak mendapatkan nasihat dari orang tua
agar dia bisa bergaul dengan suaminya dengan baik dan mampu menunaikan
kewajibannya terhadap suaminya. Perhatikanlah Rosululloh Shollallahu
'Alaihi Wasallam bagaimana kesungguhan beliau dalam mendidik anak
walaupun sudah berkeluarga.
Sahl bin Sa'ad Radhiyalahu 'anhu
berkata : Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam datang ke rumah
Fatimah, tetapi beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak menjumpai
sahabat Ali Radhiyalahu 'anhu (menantunya). Lalu beliau Shollallahu
'Alaihi Wasallam bertanya (kepada Fatimah, putrinya): "Dimana anak
pamanmu (Ali)?" Fatimah berkata : Dia sedang ada masalah dengan aku,
lalu dia menjauhiku dan keluar, tidak mau tidur siang bersamaku. Lalu
Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam menyeru seseorang : "lihat,
dimana dia!" Lalu iapun datang dan berkata : wahai Rosululloh, dia tidur
di masjid. Lalu Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam mendatanginya
sedangkan dia Radhiyalahu 'anhu sedang berbaring dan selendangnya
terlepas dari lambungnya sehingga badannya terkena debu, lalu Rosululloh
mengusapnya seraya berkata : "Wahai Abu Turob, bangunlah! Wahai Abu
Turob, bangunlah!" (HR. Muslim 12/135)
Ali bin Abu Tholib
Radhiyalahu 'anhu mengabarkan : sesungguhnya Rosululloh Shollallahu
'Alaihi Wasallam membangunkannya dan Fatimah, putri Nabi Shollallahu
'Alaihi Wasallam, pada suatu malam seraya bertanya: "tidakkah kalian
berdua sholat malam?" Lalu aku (Ali bin Abu Tholib) berkata: Wahai
Rosululloh! Jiwa kami ditangan Alloh. Jika Alloh menghendaki kami bangun
maka kami akan bangun. Ketika kami bicara demikian, maka beliau
Shollallahu 'Alaihi Wasallam pun berpaling dan beliau Shollallahu
'Alaihi Wasallam tidak membantahku sedikit pun. Lalu aku mendengar
beliau ketika berpaling sambil memukul pahanya membaca ayat :
Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS al-Kahfi [18]: 54) (HR. Bukhori 4/288)
Subhanalloh, alangkah baiknya akhlak dan perangai Rosululloh
Shollallahu 'Alaihi Wasallam sebagai mertua. Menantunya dicari,
dikasihani dan disayangi, serta dibersihkan debu yang mengenai badannya.
Begitu besar jerih payah beliau Shollallahu 'Alaihi Wasallam ketika
keluar malam hari bermaksud baik membangunkan anak dan menantunya agar
menunaikan sholat malam. Meski jawabannya cukup menusuk perasaan, beliau
Shollallahu 'Alaihi Wasallam sebagai mertua tidak marah dan tidak putus
asa. Inilah suri tauladan orang tua yang baik kepada anak dan
menantunya. Alangkah indahnya bila sebagai orang tua yang tatkala
anaknya bermasalah dengan menantunya ia meniru jejak beliau Shollallahu
'Alaihi Wasallam, sehingga menantu akan bertambah senang insya-Alloh.
Semoga nasihat ini membantu para orang tua untuk menolong anaknya agar
selamat dari fitnah syahwat yang haram sehingga bisa menghindarkan diri
dan keluarganya dari adzab Alloh subhanahu wa ta'ala.
~DA'WAH AL HANIF~
sumber :https://id-id.facebook.com/Yayasan.Alhanif/posts/296591560443351